Rabu, 27 Maret 2019

Agustinus Wibowo: Into the Great Wide Open


Tulisan asli oleh Katrin Figge yang telah di publish oleh nowjakarta.co.id

------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 

Agustinus Wibowo dikenal sebagai pionir penulis perjalanan di Indonesia. Dia melakukan pendekatan secara mendalam saat melakukan perjalanan yang memungkinkan dia memahami dan mengetahui lebih dalam tentang tempat yang telah dia kunjungi, yang semuanya tidak biasa.


Dia menceritakan pengalaman petualangannya ke Afganistan pada buku Selimut Debu (A Blanket of Dust), sedangkan Garis Batas (Borderlines : A Journey Through Central Asia) menceritakan perjalanannya ke Asia Tengah. Memoar perjalannya, Titik Nol (Ground Zero :When Journey Takes You Home), telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris pada 2015. Agustinus akan menjadi salah satu penulis Indonesia pada London Book Fair pada bulan Maret, Berbicara Sekarang! Jakarta tentang bagaimana Perjalanan menolong dia membentuk pemahanannya terhadap identitas dan budaya dan membagi beberapa pengalamannya yang sangat berkesan saat melakukan perjalanan.


Kapan pertama kali anda jatuh cinta terhadap Travelling?

Saya tumbuh di sebuah kota kecil di Indonesia sebagai Minoritas Cina. Sepanjang masa kecil saya, saya mengalami diskrimasi rasial yang membuat saya menjadi trauma. Saya takut keluar rumah sendiri karena saya kawatir orang-orang akan mengejek saya karena mata saya dan warna kulit saya. Menjelajahi dunia hanya menjadi mimpi bagi saya, tetapi hal tersebut berubah saat pertamakali saya tiba di Beijing pada tahun 2000 di umur saya yang ke-19. Untuk pertamakalinya dalam hidup saya, saya dapat berjalan di jalanan tanpa kawatir orang-orang akan memerhatikan saya sebagaimana saya terlihat.

Di tahun 2002, saya melakukan perjalanan sebagai Backpacker ke Mongolia, tujuan wisata termurah bagi orang asing yang dapat saya jangkau dari Beijing. Pada hari pertama saya di Mongolia, saya dicopet di atas kereta, hari ke-2, saya dirampok di sebuah taman di Ulaanbaatar. Teman perjalanan saya yang juga dari Indonesia sangat khwatir dan memaksa saya untuk segera mengakhiri perjalalanan dan kembali ke Beijing. tetapi saat itu saya berpikir bahwa kami sekarang telah siap untuk melalui hari-hari dengan hal yang tak terduga dan paling menakutkan. Kami tidak pernah menyesali keputusan tersebut.

Travelling merupakan sebuah pengalaman yang sangat bermanfaat, tetapi kadang juga menjadi sangat mahal, bagaimana kamu mengaturnya?

Saya selalu melakukan perjalanan murah. Saya memilih pilihan termurah untuk transportasi publik yang biasa penduduk lokal gunakan atau mencari tumpangan. saya juga sangat jarang menginap di hotel, sangat sering saya tinggal di rumah penduduk lokal yang saya temui di jalan atau yang direkomendasikan.

Pada tahun 2005, saya memulai perjalanan melintasi Asia dengan biaya USD 2.000 Tunai.  Saya merencanakan perjalanan selama 5 tahun dan mencapai Afrika Selatan dari Beijing malalui jalur darat - saat itu saya sangat optimis! tetapi saya hanya bisa bertahan selama 19 bulan. Ketika saya di Uzbekistan, uang terakhir saya dicuri. Tetap, saya tidak mau pulang ke rumah karena saya belum mencapai tujuan yang saya inginkan yaitu belajar tentang jurnalistik dari pengalaman di dunia nyata. Teman saya yang berkebangsaan Indonesia di Uzbekistan menolon saya dengan memberikan uang tunai yang cukup untuk saya mendapatkan sebuah Visa Afganistan dan pergi ke Kabul. Saya sampai di Kabul dengan uang kurang dari USD 1 di kantong. Beruntungnya, seorang yang bisa saya hubungi menjamu saya dan menawarkan saya pekerjaan sebagai seorang Photojournalist, Jadi, sangat tidak diduga impian saya menjadi kenyataan. Saya menjadi Jurnalis di Afganistan dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Priode ini sangat krusial dalam perjalanan karir saya. Jika uang saya tidak dirampok, hidup saya sekarang akan sangat berbeda dengan kondisi saya saat ini, karena itu, saya sangat berterimakasih kepada pencuri tersebut.


Kamu memilih untuk melakukan perjalanan ke Afganistan, Iran, Asia Tengah - bukan tipikal tujuan wisata anda, apakah anda pernah berpikir tentang keamanan anda?

Negara-negara tersebut merupakan  negara yang paling dapat saya akses untuk perjalanan darat, karena saya tidak mampu menggunakan perjalanan udara. Kedua, saya dibesarkan di Indonesia di sebuah lingkungan Islam, saya selalu penasaran dengan Sejarah Islam dan Peradabannya. Saya bukan seorang Muslim, tetapi mempelajari Islam berarti belajar untuk mengetahui bagian lain dari Indonesia, yang mana membantu saya untuk lebih memahami identitas diri saya sendiri.

Sebagaimana saya telah dibesarkan sebagai minoritas etnis dan agama, pertanyaan tentang identitas sangat mempengaruhi pikiran dan perjalanan spritual saya. Negara - Negara bekas Uni Sofyet terkadang mencerminkan kebingungan yang ada di dalam diri saya. Mempelajari tentang masalah-masalah yang ada di negera-negara tersebut sangat banyak membantu saya dalam memahami arti dari Bangsa, Kebangsaan dan Nasionalisme, sama halnya dengan Afganistan. Setelah belajar berbicara menggakan bahasa orang-orang Persia dan secara intensive melakukan perjalanan melintasi negara, saya menjadi lebih penasaran tentang hubungan antara grup-grup etnis dan agama-agama yang ada. Melihat negara-negara dengan masalah-masalah identitas seperti melihat diri saya sendiri di dalam sebuah cermin, yang membantu saya untuk memahami diri saya. Tentu saja saya sangat memerhatikan keamanan diri saya, saya takut tehadap banyak hal, termaksud kematian, tetapi saya tidak membiarkan ketakutan tersebut menghentikan saya untuk melakukan perjalanan.


Bisakah kamu ceritakan salah satu pengalaman yang paling mengesankan dari perjalananmu kepada kami?

Saat saya berada di gurun Thar di Pakistan selatan, gurun tersebut saat itu sangat kering dan dibeberapa bagiannya hujan tidak ada dalam 4 tahun terakhir. Suhu mencapai 50 ⁰C dan banyak orang-orang di sepanjang negara yang meninggal. Pada saat bersamaan saya terkena Hepatitis. Saya mengunjungi rumah seseorang yang sama sekali tidak saya kenal dan ketika saya tiba dirumah tersebut, saya tiba-tiba muntah dan terjatuh di lantai. Mata saya dan kulit saya berwarna kuning, sehingga dengan sangat jelas bagi pemilik rumah tersebut mengetahui bahwa saya telah terjangkit penyakit menular ini. Saya pikir dia akan mengantarkan saya ke rumah saki, tetapi, tidak - dia menyiapkan ruangan terbaik di rumahnya dan berkata kapadaku " kamu dapat tinggal disana selama kamu mau, karena rumah ini adalah rumahmu". Saya tidak dapat percaya apa yang telah saya dengar. Seluruh anggota keluarga sibuk memasak makanan special dan mendapatkan obat tradisional untuk saya. Akhirnya saya tinggal selama 3 minggu hingga saya benar-benar sembuh. Saya merasa malu dan mengatakan bahwa saya tidak akan pernah tau bagaimana membalas kebaikannya, tetapi dia menjawab " Dalam hidup, tidak penting berapa banyak yang telah dikumpulkan. Yang paling penting adalah seberapa banyak kamu berbagi dan bagaimana membuat dirimu menjadi sangat berarti bagi orang lain", kata-katanya terus saya ingat dan saya rasa itu salah satu pelajaran terhebat yang saya pelajari ketika berada di perjalanan.


Kamu telah mempublish beberapa buku tentang perjalananmu dan akan berpartisipasi pada acara London Book Fair yang akan datang. Apa yang paling kamu inginkan selama acara ini?

Ini akan menjadi kali kedua saya tampil di London Book Fair. Selama kunjungan pertama, saya melihat bahwa literatur perjalanan tetap menjadi sebuah genre yang penting di UK. Apa yang sangat saya kagumi tentang UK adalah UK telah menghasilkan banyak penulis perjalanan dengan karya berkualitas tinggi. Penulis Perjalanan adalah sebuah aliran baru di Indonesia, jadi kami tidak punya banyak referensi. Pada fasa penulisan saya diawal, saya mengembangkan sendiri konsep Travel Writing dengan membaca banyak buku dari penulis-penulis barat, termaksud beberapa dari UK. Banyak penulis British yang sangat saya hormati, diantaranya VS Naipaul, Colin Thubron dan Elizabeth Pisani. Karena itu, satu hal yang paling saya inginkan pada London Book Fair adalah bertemu dan terlibat dalam percakapan yang lebih dalam dengan para penulis dan penerbit British, terutama yang fokus terhadap Jurnalisme perjalanan.

Kamu saat ini tinggal di Jakarta, berapa lama kamu biasanya tinggal suatu tempat sebelum pikiran untuk "Berkelana", panggilan untuk melakukan perjalanan menghampirimu lagi?

Saya tidak lagi melakukan perjalan untuk "Berkelana". Saya biasanya memuali sebuah petualangan dengan sebuah pertanyaan dipikiran dan petualangan menjadi pencarian jawaban terhadap pertanyaan saya. Saat ini saya mengerjakan sebuah buku esai tentang masalah identitas, jadi saya baru saja mengunjungi tempat-tempat seperti Suriname - dan Kashmir, di mana saya mencoba untuk mengerti akar-akar dari separatisme. Saya juga berkeliling di seluruh Indonesia untuk penelitian ini. Jadi dorongan tidak datang dari seberapa banyak waktu yang dimiliki atau perasaan bosan, tetapi dari pertanyaan yang saya miliki.

Di tempat mana atau negara mana yang belum pernah kamu kunjungi tetapi kamu sangat ingin menjelajahinya?

Israel. Israel adalah rumah untuk beberapa situs-situs paling suci dari beberapa Agama besar di dunia yang semuanya mengklaim membawa kedamaian, tetapi sangat ironi, Israel juga merupakan tempat perang suci dan konflik yang tidak pernah berakhir yang berefek ke seluruh dunia, dari zaman pertengahan hingga sekarang. Saya sangat bersemangat untuk mengetahui sejarah dan reaslitas konflik karena banyak berita tentang Israel dan Palestine yang kami terima di Indonesia telah di terdistorsi dan dipolitisasi. Sayangnya, Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, jadi untuk mendapatkan Visa bisa jadi masalah untuk pemegang pasport Indonesia seperti saya.